Jumat, 07 Maret 2014

Petualangan Masa Sekolah

Oleh: John Kia

Kicauan burung saling barsahutan satu dengan yang lain seolah-olah ingin membangunkan si boca dari lelap tidurnya. Seiring dengan kicauan burung dapat   membangunkan Rofina dari lelap tidurnya seketika itu juga dan ia tak lupa membangunkan adiknya yang masih lelap tidur.  "Bonsu…Bonsu…. ayo bangun,   sudah siang  cepat mandi kita nanti terlambat ke sekolah.“ Kata Rofina sambil menyiapkan sarapan pagi!

Seketika itu juga bangunlah Bonsu dari tidurnya  sambil mengusap kedua bola matanya yang tak ingin pisah satu dengan lainnya karena rasa ngantuk. Dengan pandangan yang sayup Bonsu turun dari tempat tidur sambil memegang  ember yang kosong untuk mengambil air dibawah pohon kelapa hasil tadahan air hujan. Sesudah mandi,  singkong rebus yang disiapkan oleh Rofina telah dihidangkan diatas keneping ( tempat tidur terbuat dari belahan bambu ) untuk sarapan  pagi keduanya untuk ke sekolah.  Bapa, mama, kakak Nogo dan Liwa masing-masing sibuk dengan tugas rutinitasnya sehari-hari.
Hujan  gerimis terus menerus mengiringi perjalanan kedua kakak beradik untuk menimbah ilmu pengetahuan di SDK II Lewoleba. Kaki tak beralaskan sendal namun melangkah dengan pasti seolah-olah Bonsu menggunakan sebuah sepatu boot sebagai penghancur duri bidara dan ilalang yang menjadi penghalang perjalanan kedua bersaudara ini ke sekolah. Sehelai kain sarung yang melingkar di tubuh, di  tangan kiri  Bonsu memegang sebuah ranting kayu untuk mengebas embun pagi yang menyatu dengan daun. Seandainya embun adalah bagian dari diriku, maka ia akan berkata jangan ganggu kami. Begitu pula butiran hujan yang tak hentinya turun dari langit oleh karena musih hujan yang berkepanjangan.

Sementara itu di tangan kanannya dipegangnya sehelai daun pisang sebagai penutup kepala pengganti payung  mengiringi perjalanan kedua kakak beradik  dengan  dendangan lagu yang sambil bersiul :  

Lamahora  taman indah dan permai ,tanah tempat aku menuntut ilmu, sampai akhir jaman aku di sini demi menuntutilmu.

Itu adalah sepenggal bait lagu yang selalu didengungkan sebagai semangat dalam menempu perjalanan yang  sangat melelahkan. Perjalanan dari kebun Mukuone Lamahora ke SDK II Lewoleba butuh waktu satu setengah jam berjalan kaki, karena jarak yang ditempuh lebih dari lima kilo meter. Situasi ini berlangsung sejak Bonsu duduk di kelas I sampai kelas IV SD hingga akhirnya, ada  kabar yang menggembirakan datang dari kepala Lingkungan Lamahora Barat yakni, Bapak Yakobus Wita bahwa, tahun 1981 akan dibangun sebuah sekolah Inpres  dengan nama SDI Lamahora hingga saat ini.
Setelah sekolah dibangun Bonsu akhirnya pindah ke SDI Lamahora dengan mengulang lagi dari kelas tiga karena buku Laporan Pendidikan tidak dapat diambil dengan alasan uang sekolah belum lunas yakni sebesar Rp. 150 sebagai administrasi sekolah. Kakak Rofina melanjutkan hingga tamat di SDK I Lewoleba.
Dalam benakku semua pasti mengatakan aku memang bodoh, itu benar namun aku senang karena bisa diterima tanpa buku laporan dan dapat mengulangi pelajaran kembali. Akhirnya  Bonsu tamat di SD Inpres Lamahora  tahun 1984 angkatan kedua.  Sungguh melelahkan karena perjalanan setiap hari  pergi dan pulang kurang lebih sebelas kilometer.
Bonsu besyukur karena dalam masa dua tahun sekolahnya sudah dekat dan itu sangat menggembirakan bagi disaat usiaku yang masih kecil. Namun pada akhir perjalanan pendidikanku di Sekolah Dasar berakhir, kini memasuki Sekolah Menengah Pertama maka, aku akan mengulanginya kembali pendidikanku dikala saat aku di kelas I dan  IV SDK II Lewoleba.
Semua perjalanan pendidikan ini harus tetap aku jalani diimbangi dengan usiaku dan juga teman-teman yang semakin banyak. Saat menimbah pendidikan di Sekolah Menengah Pertama yang jaraknya tidak terlalu jauh karena perjalanan pergi dan pulangnya sekitar delapan kilo meter.
Yang ada dalam benak  Bonsu saat itu adalah keingin untuk tahu dan juga keinginan untuk memperoleh pendidikan. Kedua adalah aku tidak mau diejek oleh temen-teman karena bodoh. Dengan semangat walau jarak sekolah dan tempat tinggal yang sangat jauh serta juga melelahkan tidak menjadi penghalang bagiku dalam menimbah ilmu pengetahuan.
Semua ini juga adalah berkat dorongan kedua orang tuaku,  dimana dalam pesannya: "Kamu jangan hanya  kamu bersyukur  dikala kamu lagi senang atau pun gembira, namun kamu juga harus bersyukur apabila  kamu mengalami hidup susah ataupun kamu gagal,oleh karena kedua bagian ini tidak dapat dipisahkan, ibarat sebuah koin sebelahmenyebelah yang selalu bergantungan namun keduanya beda."

Ada sebuah pengalaman yang menggembirakan yang tidak pernah Bonsu lupakan, ketika masih duduk dibangku sekolah dasar tepatnya kelas III saat  itu. Pada liburan sekolah,  bersama teman-teman kami sepakat untuk berburu rusa dan babi hutan yang selalu mengganggu tanaman di kebun kami. Kami akhirnya  berangkat keluar masuk hutan seharian untuk memasang jerat.

Setelah semua jerat terpasang ada sekelompok orang dengan menggunakan anjing akhirnya  ada segerombolan rusa yang lewat. Teman sebayaku badannya lebih besar dan tinggi, sehingga kuberitahu bahwa kamu yang harus panah rusa itu. tetapi ia balik berkata, "mone le e" ( kamu saja ). Tidak menunggu lagi langsung aku mengendap di balik pohon dan membidikan panah. Bidikan panahku tidak meleset dari sasaran langsung tertancap di bolamata, dengan teriakan kia bala gone. Selang tak lama rusa berlari dan terjerat kamipun pulang dengan gembira membawa hasil buruan.**

Bertualang ke Timor Timur


Oleh: John Kia

KM. Lewoleba Karya
Dengan berbekal sepucuk surat dari  Kepala Lingkungan Lamahora Barat yang ditanda tangani oleh Bapak Yakobus Wita sebagai bukti identitas diri, akhirnya aku harus tinggalkan  keluarga dan teman-teman yang kucintai untuk menimbah ilmu pengetahuan di tanah orang sebagai tujuan utama dalam hidupku. 

Dengan tetesan air mata aku berpamitan dan memohon doa restu dari Bapa, mama serta kakak. Semoga tujuan perjalananku ini  suatu saat nanti kami boleh dapat berkumpul kembali dengan penuh harapan. Dan dengan penuh haru kakakku Rofina menghantarku ke dermaga Lewoleba dengan memegang sebuah tas kecil yang berisikan bekal,  sebagai persiapan dalam perjalanan menuju tempat tujuan yang belum pernah akuketahui. Bapa hanya tersenyum gembira dan dari dalam saku ia mengambil uang sebanyak Rp. 35.000, dengan ucapan: "Hanya dengan uang ini yang bisa Bapa berikan, mudah-mudahan cukup untuk sampai disana". Aku merasa bersyukur karena  dengan uang itu aku bisa   gunakan sebagai bekal hingga tiba di kota tujuan.

Tepatnya tanggal 07 Juli 1987 dengan menggunakan KM Lewoleba Karya bersama teman dan juga kerabat sekampung dengan tujuan masing-masing kami berlayar ke Kota Reinha - Larantuka sebagai pusat kota Kabupaten Flores Timur saat itu. "No cepat masuk kedalam kita mau berangkat", kata seorang anak buah kapal yang belum kukenal. Semua tali untuk menambatkan kapal motor dilepas, bunyi mesin semakin lama semakin keras, dan kapal motor pun semakin jauh meninggalkan dermaga. Dari kejauhan hanya terlihat lambaian tangan dari orang-orang yang aku cintai.

Di atas bangku panjang aku hanya melamun membayangkan semua orang yang kutinggalkan. Aku  dikejutkan saat petugas kapal dengan secarik kertas hendak meminta bayaran tiket. Aku mengambil dari balik saku dan membayar sesuai tagihan yang diminta oleh petugas kapal motor yakni sebesar Rp. 500.   Lambat laun aku mulai berbaur dengan kerabat yang hendak pulang ke Kabupaten Belu di Atambua - Timor setelah berlibur di kampung.  Sambil bercerita aku pun mulai merasa mual, maklum aku sendiri belum pernah berlayar apalagi keluar dari kampung halaman sehingga tidak dapat menahan terjangan gelombang dan arus Watowoko yang begitu kuat sehingga membuatku  mabuk  dan tertidur lelap hingga tiba di kota Reinha Larantuka sekitar jam 12.00 wita.

Perjalanan dari Lewoleba ke Larantuka ditempuh dalam waktu kurang lebih empat setengah jam. Setiba  di Larantuka  kapal Fery tujuan Kupang sudah bersandar di Pelabuhan Larantuka sehingga kami semua langsung memindahkan semua bawaan  ke dalam kapal fery dengan tujuan Kupang. Pada saat masuk dalam kapal kami hendak membeli tiket, namun para petugas  kapal mengatakan bahwa kami dibolehkan naik kapal dengan tidak membeli tiket karena kami masih anak-anak. 

Aku pun merasa senang karena uang dari pemberian Bapa bisa aku simpan untuk keperluan yang lain. Namun sayang,  para petugas Keamanan dengan sikap yang arogan memeriksa semua barang bawaan kami dengan memeriksakan tiket keberangkatan bagi setiap penumpang, dan bagi para penumpang yang tidak memiliki tiket diperintahkan untuk turun dari kapal Fery. Dengan perasan bersalah saya pun turun dari Kapal namun barang bawaan kutitipkan pada kerabat. Saya bingung oleh karena Larantuka aku barusan tiba dan tidak tahu harus bagaimana. Petugas keamanan dengan sigap menjaga kapal sehingga aku hanya menunggu diatas pelabuhan dengan satu tekat saat tali dilepas aku akan melompat kedalam kapal. Akhirnya rencanaku berhasil juga, semua ini berkat dukungan kerabat dan teman dimana peristiwa tidak akan kulupakan sebagai suatu awal baru dalam mengambil sikap dan tindakan.

Tepat jam 15.00 wita,  kapal siap diberangkatkan dengan tujuan Kupang dan keesokan harinya kami tiba di kota Karang Kupang. Dengan penuh semangat, dalam benak kota tujuanku  mungkin sudah dekat. Setibanya di Kupang kami menginap semalam di rumah kerabat dan keesokan harinya kami lanjutkan perjalanan  ke perbatasan NTT dan Timor-Timur  tepatnya di kota Atambua Kabupaten Belu.
Pagi-pagi  kami siap berangkat keterminal ditemani kerabat dengan mengendarai  mobil angkot mikrolet . Setibanya di Terminal kami terus dijemput oleh para kondektur  bus tujuan Atambua dan kami langsung berangkat karena kapasitas muatan sudah mencukupi. Suasana dalam perjalanan sangat mengasikkan oleh karena suasananya yang baru  dan juga keinginan untuk mengenal tempat-tempat yang  pernah dipelajari di sekolah.
Dalam perjalan ke Atambua begitu melelahkan karena jarak yang harus di tempu kurang lebih 475 km, namun dengan iringan musik membuat semua penumpang lain tertidur lelap. Dengan rasa ingin tahu aku melihat situasi dalam perjalanan dan menikmati alunan Album music Neti Sitompul yakni Cincin Permata Biru hingga tiba di kota Soe  untuk makan siang. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dan akirnya tiba di kota Atambua jam 16.00 sore.

Selama di Atambua aku tinggal dengan kerabat oleh karena untuk memasuki wilayah Timor-Timur harus punya identitas yang lengkap, sedangkan aku hanya berbekalkan sebuah surat dari Ketua Lingkungan yang sangat diragukan keabsahan karena situasi dan kondisi saat itu. Kami memberitakan keberadaan dan permasalahanku, namun tidak pernah ada jawaban dari sana sehingga aku hampir putus asa dan ingin kembali ke kampung halaman. Selama tiga minggu  dalam penantian yang tidak pasti, akhirnya tiba juga hari yang menggembirakan  buatku.

Aku akhirnya berangkat bersama kakakku yang sudah lama  tidak pernah bertemu karena tugas mengabdikan diri pada Negara sebagai seorang Tentara. Kami pun tiba di kota Dili tanggal 02 Agustus 1987 sebagai kota tujuan terakhir untuk bertualang. Keesokan harinya aku langsung ke sekolah mengikuti OSPEK  di SMAN I Dili, untuk menimba ilmu pengetahuan.***

Si Petualang Masuk Kantor

Oleh: John Kia

 “ John…..John…..mau ikutan daftar tidak, ada pembukaan Tes masuk Kantor ”,  kata Dinis Pires Mendez  sambil memegang  sebuah map kusut berwarna merah.  “Tidak pa Pegawai“, kataku, sambil melanjutkan pekerjaan pembangunan  toko Sarina di Colmera Dili. Sekembalinya dari tempat bekerja  kumembayakan perkataan teman tadi dan memutuskan untuk mencoba  ikut mengadu nasib, siapa tahu bisa lolos dalam ujian tes nanti.   Akhirnya setelah mandi aku kerumah teman dan menanyakan kebenaran informasi  tentang pembukaan tes masuk Kantor yang ia kabarkan. Sesampai di rumahnya belum kutanya spontan ia berkata,  “Penutupan pendaftaran tinggal tiga hari lagi, jika kamu mau segera siapkan berkas untuk daftar, ini contohnya.” kata Dinis sambil tertawa.  Akupun  membaca  dan mencatat semua persyaratan yang sudah ia dapat.  Keesokan harinya  sambil membawa semua persyaratan  dalam sebuah map dan terus ke tempat kerja dan mememui  Nisan  sambil berkata, “Teman, hari ini aku minta izin mau masukan lamaran di Kantor Departemen Agama karena penutupan pendaftaran tinggal dua hari lagi". Kata Nisan padaku, “ O, ia jika sudah beres baru kesini lagi untuk kita sama-sama lanjutkan kerjaan.”  Dengan demikian aku pun bergegas ke Kantor yang jaraknya tidak jauh dari tempatku bekerja  sebab lokasinyapun ada di Colmera.

Sesampai di sana ternyata sudah banyak orang yang menunggu di ruangan Kantor, namun petugas Panitia Penerimaan Pegawai belum datang karena harinya masih pagi. Sambil menunggu petugas  Panitia tidak lama berselang datang juga Dinis dan dari jauh ia memanggil:  “John , mari kita  ke Kantor Dep. Naker untuk urus Kartu kuning dulu.”  Jawabku, ” Aku sudah punya Dinis.”
Setelah petugas Panitia Penerimaan Pegawai tiba kami akhirnya berdesak-desakan  untuk antrian mengambil nomor urut sebagai bukti saat dipanggil untuk memasukan semua persyaratan. Kata teman-teman disampingku dengan dialeg Tetumnya, “ ita ne hansa iha Hospita simu ai moruk sa ne,” ( kita ini sepertinya di rumah sakit ambil obat saja) sambil     mengusap keringat yang mengalir dari keningnya.

Kini tiba giliranku dipanggil untuk memasukan semua persyaratan, lama Petugas Panitia memeriksa semua berkas  satu-persatu  dan akhirnya sebuah kertas kecil bertuliskan  No. Pendaftaran 305 disodorkan dari balik loket dengan pesan,  “Ini kertas jangan sampai hilang dan nanti tanggal 28 Oktober 1992 kamu ke GOR untuk ikut ujian tulisan,“ kata Petugas Panitia padaku. Sambil menerima secarik kertas dari Petugas Panitia dengan ucapan, “Obrigado maun bot,” sambil melangkah keluar dari himpitan orang-orang yang ada di sekitarku.
Sambil menunggu untuk mengikuti Tes aku berkumpul bersama teman-teman untuk melanjutkan perkerjaan pembangunan toko Sarina.  Dan pada akhirnya tibalah saat yang telah ditentukan untuk Tes, dan kami semua berkumpul di Gedung  Olah Raga Dili dengan jumlah peserta kurang lebih enam  ratusan orang yang mendaftar dengan kuota 35 orang yang diterima.  Dengan kategori: SD, SMP,  3 orang, SMA/K  24 orang dan Sarjana  8 orang.

http://gurudepag1.blogspot.co.id/
Tepatnya  tanggal 19 Nopember 1992  jam 18.00, dari corong Kantor RRI Dili dalam sebuah berita pengumuman kelulusan Calon Pegawai Negeri Sipil dengan perasaan yang tidak menentu aku coba mendengarkan berita ini. Pada saat nama-nama dibacakan dengan kategori masing-masing dan akirnya tiba pada tingkatan SMA/K yang kudengar adalan nomor satu dengan nomor peserta 305 lima atas nama Yohanes Kia. Aku hanya berdiam diri dengan perasaan haru bertetaskan air mata aku sudah lulus.  Apa ini benar aku sudah lulus? Lama aku terdiam sambil berdiri aku berkata  pada kakak ipar, “Aku telah lulus Tes Pegawai kakak.“ Jawab kakak ipar, “Syukur pada Tuhan Bonsu, kamu sudah diterima ini adalah jalan  hidupmu jadi bersiap-siaplah untuk kamu jalankan dengan penuh rasa tanggung jawab,” demikian katanya dengan rasa haru bercampur  gembira.
Pada tanggal  4 Desember 1992 kami semua yang lulus dalam ujian tulisan dipanggil untuk melengkapi semua persyaratan dan mengikuti salah satu bagian lanjutan tes yakni Psikotes di Kantor Korem Dili. Giliranku dipanggil dan mengisi semua formulir yang telah disiapkan dan ada satu pertanyaan yang ditanyakan oleh petugas padaku yakni,  “Menjadi seorang Pegawai Kantor Departemen Agama  acara apa yang kamu sukai  pada acara di TVRI, dengan spontan aku menjawab,  “ Mimbar Agama.” Kata petugas kamu boleh pulang kamu telah lulus mudah-mudahan kamu jalankan dengan rasa tanggung jawab demi kepentingan Bangsa dan Negara.  Sedangkan  salah seorang teman yang tadinya mengajakku untuk ikut daftar juga lulus dan giliran untuk mengikuti Psikotes memakan waktu cukup lama yakni sekitar dua jam lamanya.  Sambil berjalan pulang ia berkata aduh susah sekali ini pertanyaan Petugas Psikotes  tanya bolak-balik sampai keringat pikirnya biasa saja. 

Dan pada tanggal 12 Desember 1992 semua berkas  persyaratan diperiksa kembali di Kantor Departemen Agama selanjutnya dikirim ke Jakarta untuk diproses NIP, sementara itu petuga Panitia mengucapkan selamat pada kami semua yang lulus dengan ucapan, “Selamat bergabung bersama kami pada Kantor Departemen Agama,  jika Nota Persetujuan sudah ada  kami akan dipanggil kembali untuk proses selanjutnya.”  Kata bapak Teotoni Da Silva selaku Ketua Panitia Penerimaan Pegawai tahun 1992. Kami akhirnya membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing dengan sebuah harapan yang pasti yakni sebagai seorang Abdi Negara dan Abdi Masyarakat.

Dalam masa penantian aku tetap melanjutkan tugas sebagaimana biasanya sebagai seorang Tukang Bangunan dan pada tanggal 8 Januari 1993 aku kembali ke Kampung halaman dengan penuh harapan untuk menemuai orangtua serta  sanak keluarga yang kutinggal pergi selama ini.

Semenjak di kamupung halaman aku membantu Bapa dan Mama serta kerabat keluarga untuk memperbaiki rumah yang sudah tidak layak dengan sebuah keterampilan yang aku miliki. Pada akhirnya berita gembira pun datang  dari Dili agar segera melaksanakan tugas baru pada Kantor Departemen Agama di kota Maliana Kabupaten Bobonaro  sebagai seorang Pegawai Negeri. Setelah menerima kabar ini akupun  berkemas untuk kembali ke Dili dengan penuh sukacita dari keluarga dan kerabat di kampung halaman.***


Petualangan Tukang Koran

Oleh: John Kia

Koran - koran - koran


Untuk memenuhi kebutuhan hidup diri yang serba tidak menentu yang kualami di Timor Timor oleh sebab keadaan ekonomi, akhirnya kuterpaksa mengambil suatu keputusan yang menurutku itu baik. Keputusan itu tidak mengurangi tujuan utama yang membawaku ke Timor Timur, yakni untuk melanjutkan pendidikan.  Semua  itu  aku alami dan kurasakan disaat memasuki pertengahan tahun pelajaran pertama,  ketika aku tidak punya uang untuk membayar angkutan umum dan juga untuk membiayai sekolahku.

Dalam situasi seperti itu aku bingung dan putus asah karena saat itu ada ulangan mata pelajaran Biologi, tetapi uang sepeser pun aku tak punya. Aku pergi ke sekolah dengam berjalan kaki. Tepat jam 11.00 aku sudah pamitan dari rumah karena  jarak yang kutempuh  untuk sampai ke sekolah tidak bedah  ketika aku masih di bangku Sekolah Dasar.

Dalam perjalanan ke sekolah ada teman yang mengajak untuk sama-sama naik angkot , namun aku menjawab masih ada urusan jadi kawan duluan saja.  Dalam hati ada keinginan untuk ikut  bersama  jika aku ada uang untuk bayar ongkos angkot. Aku melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan harapan jangan sampai terlambat karena ulangan hari itu aku harus ikut, karena sudah kupersiapkan untuk memperoleh hasil yang baik.
http://www.sfi4.com/15579494.1101/FREE
Ketika sampai di dekat sekolah ada suara  terdengar yang  memanggil, “John….John,   sini dulu aku mau nitip surat sakit hari ini aku nga ke sekolah“  kata teman sekelas namanya Nanik.  Aku menghampiri dan mengambil surat yang dipegangnya sambil ia berkata ,  “Ko,  kamu tidak naik angkot .”  Jawabku,  “Aku tidak punya ongkos   hari ini ada ulangan Biologi sehingga kuputuskan untuk berjalan kaki . “
Aku pamitan ya, nanti terlambat, namun ia berkata tunggu sebentar, sambil berjalan  kedalam kios. Tidak lama kemudian ia keluar dan memegang  sesuatu  sambil berkata, ini buat kamu bukan berarti aku membayar karna membawa surat aku namun,  ini untuk ongkos angkut   saat kamu pulang jadi jangan ditolak ya. Aku dengan ucapkan terima kasih  atas pemberiannya,  sambil berkata jika permberiannya ikhlas  aku terima karena aku tidak usah dikasihani. Sambil tersenyum ia berkata,  cepat sana nanti kamu terlambat. Aku pun bergegas pergi meninggalkannya dengan rasa haru.

Dari peristiwa itu akhirnya aku temukan seseorang yang sedang menjajakan koran saat pulang sekolah bersama teman-teman sambil nongkrong di emperan pertokoan, tepatnya di Colmera Dili. Sambil melihat-liahat dalam hati aku bertanya apa aku juga bisa lakukan  ini?  Jika ia bisa kenapa  aku tidak untuk melakukan ini.

Sekembali ke rumah  bayangan ini selalu menghantui. Seandainya memasuki tahun ajaran baru  nanti tentunya sekolahnya pagi hari, maka ini akan menjadi suatu hal yang baik buat aku untuk bisa melakukan ini. Namun tugas utamaku tetap kujalankan karena ini adalah tujuan utama aku datang ke sini, kota Dili. Apa kata orang tua dan kakak di kampung  jika mendengar  aku berheti sekolah.  Apa kata teman-teman  jika mereka tahu bahwa   aku seorang penjual /loper koran.

Entalah yang penting bahwa yang aku lakukan itu adalah sesuatu  hal yang  tidak merugikan atau menyusahkan orang lain, itu adalah hal yang baik. Niatku ini akhirnya  kuuturakan pada kakak iparku dengan harapan mudah-mudahan  keinginanku diterima  sehingga bisa membantu diriku.  Akhirnya kuberanikan diri untuk menyampaikan niatku ini dan dengan senang hati kakak iparku menerima, namun dengan harapan  semua tugas harian di rumah dan juga tugas utama untuk belajar jangan sampai terbengkelai  apa lagi tidak naik kelas.

Dengan senang hati  aku mendengarkan semua ucapan kakak iparku karena apa yang kukhawatirkan  terjawab sudah. Itu berarti kakak ipar mengizinkan aku untuk berjualan koran sedangkan  kakak laki pasti tinggal mengiakan saja. Akupun berjanji  padanya dengan tekad semua tugas akan  aku jalankan dengan baik  entah pekerjaan di rumah maupun tugas belajarku, aku juga tidak akan mengecewakan  kakak dan semua orang yang aku sayangi.

Keesokan harinya aku menemui pemilik koran sebelum berangkat sekolah dan mengutarakan niatku dan aku diterima. Namanya agen Harian Kompas itu adalah Petrus Hale.   Dengan senang hati iapun menerima  permintaanku  lalu  ia balik bertanya: “Kapan kamu mulai jualan”. Jika Bapa menghendaki maka sehabis pulang sekolah aku bisa ambil untuk jualan.” Jawabku. Iapun setuju namun  berpesan jika boleh carikan langganan sehingga tinggal diantar kerumah-rumah saja biar waktu belajar kamu tidak terganggu.  Dan bayarannya satu exemplar  untuk Kompas,  Rp 300 dipotong  Rp 50 untuk upah kamu, sedangkan Jawa Pos,  Rp 200 dan dipotong Rp 50, sedangkan  langganan sebulan untuk Kompas Rp. 10.000 perbulan dipotong  Rp. 1000 untuk upahmu dan  Jawa Pos,  Rp 8.500 perbulan dipotong Rp 1000 untuk upahmu”   demikian kata Bapak Petrus Hale sambil menarik sebatang rokok.
Tugas kini sudah didepan mata tinggal bagaimana  melakukannya  dengan cara dan juga tanggung jawab yang sudah dipercayakan. Tepat tanggal 19 Desember 1987 pekerjaan itu aku jalankan!

Koran…………Koran………..beli Koran……..pa, beliKoran……….bu……inilah awal dari perjuangan  demi  memenuhi kebutuhan hidup walau  semua ini dianggap hina namun bagiku adalah suatu hal yang mulia.
Aku mulai belajar dari pengalaman hidup ini dengan penuh kebahagian dan penuh canda dan tawa bersama teman-teman seperjuangan dengan berbagai kendala yang kujumpai dilapangan  hingga Lulus dari SMAN I Dili  pada akhir Mei 1990. Uang yang aku terima sangat berarti dan sedikit demi sedikit kusimpan sebagai bekal  jika suatu waktu nanti aku keluar dari kelompok kecil itu. Langganan Kompasku saat itu 169 orang dan Jawa Pos  85 orang,  sedangkan Koran Surya  45 orang dan Bali Post ada 31 orang sedangkan yang kujual ada 25 exemplar.  Lumayan juga buat bayar uang sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Sedangkan uang  pemberian teman saat aku ke sekolah dengan berjalan kaki  tidak pernah kulupakan dengan mentraktirnya sebagai balas budi baiknya. Terima kasih  buatmu semua terutama  sahabatku Nanik. Tuhan akan membalas kebaikanmu.



Petualangan Tukang Bangunan

Oleh: John Kia

Semenjak  menyelesaikan pendidikan pada  Sekolah  Menengah  Atas  ada keinginan untuk melanjutkan sekolah di Perguruan Tinggi, keinginan terus terpendam dalam hati disaat melihat teman-teman sekelas dengan semangat yang berapi-api untuk melanjutkan study ke Perguruan Tinggi,   apalah  dayaku karena aku seorang Petualangan Kampung dan tidak mungkin semua keinginanku itu akan tercapai. Namun ada satu harapan  yang ada dalam hati disaat kumeruningi, bagi manusia semua  itu tidak mungkin namun bagi Allah semuanya itu mungkin.  Sepenggal kalimat  ini selalu ada dalam hatiku  membuat aku selalu berusaha untuk mengubah nasib hidup ini, entah sampaikap aku selalu berharap dan terus berharap.

Kesempatan pertama yang kucoba untuk mengubah nasib  adalah keinginan untuk menjadi  Seorang Polisi dan aku ikut  sampai pada tingkatan penentuan akhir,  namun gagal dikarenakan tidak punya uang sebanyak tiga juta  rupiah waktu itu. Tiga juta  thn 1990 yang diminta oleh oknum panitia penerimaan polisi  aku seolah-olah tak berdaya lagi. Aku juga sempat masuk TNI Angkatan Laut dan aku rasa ini benar-benar murni dalam seleksi masuk.  Dari 900 orang lebih  yang ikut tes pada akhirnya tinggal 5 orang yang lolos ke Surabaya  sedangkan aku  dan seorang  teman gagal dalam penentuan terakhir.
Keinginan untuk menjadi se orang Polisi/TNI sudah terkubur dalam disebakan usia sudah memasuki tahun ke 22 yang persyarata  pertama  akupun mengucapkan sayonara, ini bukan nasib atau jalan hidupku, aku sudah berusaha sekuat kemampuan.

Aku juga  putuskan untuk meninggalkan jalanan sebagai seorang loper koran yang selama ini kugeluti dan mencoba hal-hal yang baru yan akan menjadi bekalku nanti. Timbullah dalam benak kesempatan pertama sudah tidak mungkin akan kembali dan kini akan datang kesempatan yang berikut, seandainya  aku  tetap  bertahan dengan perkerjaanku maka aku tidak akan punya keahlihan  sedikit walaupun itu suatu pekerjaan kecil dimata semua orang.  Pada akhirnya kujual semua langganan  koran  pada teman yang bersedia membeli dengan harga tiga raatus ribu rupiah sebagai   modal untuk memulai  suatu pekerjaan baru yakni sebagai kulih bangunan.

https://www.globallshare.com/id/1649513.html
Mendengar  ungkapan  kulih  bangunan tentunya  sesuatu hal yang dikerjakan dengan kekuatan tenaga atau pekerjaan  berat.  Inilah pilihan hidup yang sudah aku putuskan dan akan aku jalankan, dengan suatu harapan kecil  yakni agar bisa membuat rumahku sendiri di kampung disebabkan  bayar tukang  cukup mahal ini motifasi saya saat itu.  Pilihan sudah aku putuskan  kini hanya tinggal kenangan selamat tinggal jalanan, selamat tinggal prempatan jalan Colmera disanalah kudipacu dengan waktu untuk  mencari dan mendapatkan yang kuingikan  hingga menyelesaikan sekolahku dan kini  aku akan memulai dari awal apakah aku bisa jalankannya nanti ?  Tepatnya  tanggal 23 Juni 1991 kutinggalkan kota Dili dengan mengendarai sebuah mobil Dam Truk  bermuatan bahan bangun yang diambil dari Toko Jaya Sontoso. Sambil duduk diatas tumpukan bahan bangunan bersama teman-teman yang baru kukenal saat itu, kami saling berkenalan  satu dengan yang lain ada: Okto, Lius, Nadus, Eman, Laus, dan Abdulah. Perjalannan kami dari kota Dili menuju kearah timur  yakni , Lospalos  ibu kota Kabupaten Lautem menjadi tempat tujuan kami . Kami menempu perjalanan kurang lebih empat setengah jam lamanya dan akhirnya kamipun tiba sekitar jam sembilan malam, disebabkan karena   kendaraan yang kami gunakan mengalami kerusakan as roda belakang diakibatkan kelebihan muatan. Kami akhirnya menginap disalah satu rumah warga yang bersedia menampung kami  karena losmen di tempat itu tidak ada. Keesokan harinya kami  melanjutkan pencarian tempat yang akan dibangun yakni Asrama TNI AD  Batalion 745 Sampada Yudhabakty. Kami dianatar oleh petugas piket dan menunjukan lokas  tempat untuk dibangun tempat penginapan kami. Bersama teman-teman sambil bergotong royong  membuat membokar semua bahan bangunan yang kami bawa.  Saat itu juga kami semua langsung membangu tempat  untuk ditempati, namun setelah semua pekerjaan  itu hampir selesai  kami disuruh pindah lagi dari tempat  itu.  Waduh,  sudah hampir selesai ko, disuruh pindah lagi tanpa ada rasa belas kasihan,  nasib-nasib jadi orang kecil begini sudah sama seperti bola yang ditendang kesana kemari,  kamipun berkemas dari tempat itu dan pindah kelokasi baru sesuai kemauan para pemiliknya.
Keesokan harinya setelah sarapan pagi Bapak Pit Koban sebagai kepala tukang,  membagi tugas pada kami semua yang berjumlah  lima belas orang. Kami semua langsung ketitik lokasi  bangun yang berjumlah  enam tempat dan semua dilakukan setiap hari.

Setelah semua tugas dan pekerjaan dilakukan sebagaimana biasanya aku mulai merasakan  betapa beratnya pekerjaan itu , namun dengan tekat aku ingin mencoba untuk belajar  dari satu pekerjaan  yang aku rasa bisa kukerjakan. Selama  satu bulan lamanya aku  focus pada  pekerjaan  pemasangan pondasi dan akhirnya aku bisa melakukannya dan gajipun sudah ditambahkan sebagai seorang  pembantu tukang dengan gaji dua ribu lima ratus rupian yang sebelumnya hanya seribu lima ratus rupiah. Pada saat material  untuk bagian batu habis disini aku mulai beralih kebagian kayu yang kuanggap lebih sulit sehingga kumnita pada kepala tukang kayu  agar bisa aku bantu. Darisini aku sudah dipercayakan untuk bisa membantu semua pekerjaan  yang dianggal belum  beres sehingga  cepat selesai.  Aku merasa senang  karena apa yang belum pernah kubuat ternyata sudah ada hasil yang baik  dan inilah yang menjadi harapan  dalam hidupku  jka ada kemauan maka  semuanya pasti bisa dilakukan.
Semua pekerjaan ini kami lakukan hingga empat bulan lamanya dan ini adalah awal yang baru buat aku dalam menyelesaikan tugas-tugas yang akan datang  dan akirhnya kami kembali ke Dili dengan penuh kegembiraan.
Aku bangga karena sudah lulus dalam pendidikan sebagai seorang tukang bangunan  dan dipercayakan lagi untuk menangani satu tugas baru yakni yakni membangun Kantor SAMSAT Dili dan pada akhirnya rumah yang aku idamkan kubangun sendiri selama satu tahun tujuh bulan oleh karena tukang dan pengawas diambil alih oleh JK. Terima kasih Tuhan karena engkau mau memberikan satu keahlihan yang kecil ini buat aku.


Jumat, 31 Januari 2014

Sinopsis Petualangan Anak Kampung

Oleh: John Kia




Kampungku yang sejuk, indah dan nyaman  dengan terpaksa  kami tinggalkan. Ancaman bencana di lereng bukit Batanamang sejauh 5 hingga  9 Km membuat bapakku mengambil keptutusan ‘langka seribu’ untuk menyelamatkan keluarga. Aku yang dipanggil Bonsu menikmati saja apa yang dilakukan oleh bapak, mama, dan kakak-kakakku.

Kami ke   Barat, ke kampung Lamahora yang pada waktu itu masih dikelilingi padang rumput dan ilalang. Di tempat yang baru itu menjadi awal petualanganku sebagai Anak Kampung. Dunia ternyata tidak selebar daun kelor, tetapi juga bukan sesuatu yang terlalu luas untuk dijelajahi. Impian, cita-cita, keinginan, mencapai sesuatu yang lebih baik menjadikanku sebagai seorang petualangan yang tidak mudah pasrah menerima keadaan.  Tuhanlah yang membimbingku dalam setiap langkah perjuanganku.


Aku bangga menjadi ‘Anak Kota’ Lewoleba yang diterima sekolah di Sekolah Dasar Katolik II yang berjarak sekitar 4,5 Km dari tempat tinggalku di kampung Lamahora.  Darah ‘Anak Kampung’ tetap mengalir deras dalam urat nadiku, membawaku  menapak langkah demi langkah menyusuri padang ilalang sambil mengayungkan sepotong kayu merontokkan embun pagi agar celana seragamku tidak basah. Tiga tahun di SDK II terpaksa aku tinggalkan dan pindah di sekolah yang baru, Sekolah Dasar Inpres yang berjarak 3,5  Km. Lumayan, kelas tiga aku ulang dua tahun demi mengurangi jarak tempuh. 

Dari SD Inpres, sekolah aku lanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) yang sekomplek dengan SD Inpres. Di bawah pohon asam aku bersama kawan-kawan menuntut ilmu dan bersama pula kami bertualang manapaki bukit-bukit terjal mengejar babi hutan dan rusa yang menggangu tanaman di lading.


TimorTimur bukan lagi Timor Portugis yang pernah kudengar ketika masih tinggal di kampung Watuwawer. Bagian pulau Timor yang menjadi jajahan bangsa Portugis itu telah resmi bergabung ke dalam Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kakakku yang telah menjadi tentara dan ditugaskan di sana  menyurati bapakku supaya aku berangkat ke sana untuk melanjutkan pelajaran di SMA. 

Aku anak desa, aku anak kampung menyeberangi Laut Sawu semalam suntuk dengan kapal Fery dari Larantuka, ibukota Flores Timur. Petugas Pelabuhan pun tidak berhasil menahanku karena tidak mempunyai tiket. Pengalaman bertualang di hutan Lewoleba mengejar ayam hutan, rusa atau babi hutan, mendorongku melompat dari dermaga menggapai kapal Feri yang sudah melepaskan tali untuk berlayar. Kota karang – Kupang, kota dingin yang terkenal dengan apel dan harum cendana SoE, kota Kefamenanu dan kota Belu aku capai bersama bus Lepanbata.


Kota Dili ibu kota propinsi baru di pulau Timor yang bernama Timor Timur itu menyisahkan bekas-bekas peninggalan Portugis. Hidupku sebagai anak kampung nunjauh di Lembata sana yang ramah biar serba sederhana tidak bisa kubandingkan dengan kerasnya hidup di sebuah propinsi baru bekas penjajahan. 

Waktu di Lewoleba, buah labu parang di kebun kami sangat limpah sehingga biarpun harganya murah, tetapi sangat gampang aku punya uang. Sedangkan sebagai siswa SMA di kota Dili barang yang sangat istimewa yang namanya uang itu sangat sulit aku miliki.  Bagaimana mungkin menempuh jarak yang cukup jauh dengan berjalan kaki di tengah terik mahahari Timor dengan tidak memiliki uang?

Koran- Koran – Koran, Korannya Kompas, Kompasnya Koran,” menggelitik naluriku untuk berjualan. Agen Kompas di Kota Dilli dengan senang hati menerimaku. Saya menjadi tukang loper Koran dari rumah ke rumah mengedarkan Koran Kompas, Bali Post, Jawa Pos dan Koran Surya dengan total langgananku sampai 200 orang. Apa yang dapat menghalangiku bila aku punya uang? Ternyata hidup tidak sekejam seperti penilaian banyak orang. Usaha halal pasti berbuah kebaikan.  


http://gurudepag1.blogspot.co.id/
Lulusan SMA tetap menjadi tukang loper Koran? Tidak! Aku datang ke Dili bukan untuk itu harus ada terobosan yang lain. Tetapi apa? Nanik kawaku, sang inspirator yang menjadikanku sebagai tukang loper Koran, setamat SMA sudah menghilang entah ke mana. 

Di Timor Timur sudah lama menggeliat pembangunan pemukiman baru. Bapakku di kampung Watuwawer terkenal sebagai seorang tukang bangunan yang handal dan kurasakan darah pembangunan mengalir juga dalam nadiku. 

Aku mulai menjadi buruh bangunan yang mengangkut batu, bata, pasir, semen, air dan adukan melayani para tukang. Tampaknya pekerjaan mereka sangat mudah mengapa aku tidak menjadi tukang? Peralatan tukang kayu dan tukang batu kubeli dengan upahku sebagai buruh, dan jadilah aku seorang tukang sama dengan para tukang yang selama ini aku layani.  


http://gurudepag1.blogspot.co.id/
Sangat senang menjadi tukang yang dapat memerintah para pembantu untuk mengambil material yang aku butuhkan. Tetapi inikah pelajaran yang aku terima selama tiga tahun di SMA? Tidak, dan pasti Tuhan memiliki rencana dengan segala pekerjaan yang aku jalani.

Akhirnya datang juga kesempatan itu. Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kuterima dari seorang kawan ketika berada di proyek bangunan. Mungkin inilah muara dari segala petualanganku sejak meninggalkan kampung halaman, pindah bersekolah di kota Lewoleba, pindah ke Timor Timor untuk sekolah serta menjadi tukang loper Koran, dan menjadi tukang bangunan. Ternyata benar! Persyaratan aku lengkapi, test aku ikuti, dan aku dinyatakan berhasil. Syukur kepada-Mu Tuhan, Engkau membuatku menangis dan tertawa bahagia.***
 

Senin, 13 Januari 2014

Petualangan anak kampung


http://gurudepag1.blogspot.co.id/
Tahun 1975 mama pergi menghadap Tuhan Yang Mahakuasa padahal aku baru melihat dunia. Kehilangan akan  ASI sumber air hidupku membuat gairah hidupku tidak padam tetapi justru semakin bergairah untuk mempertahankan hidup.

Tepatnya tanggal 09 Januari 1975 adalah hari yang terindah buat mama Kalara Nole Lejab untuk meninggalkan suami, anak-anak serta kerabat keluarga untuk selamanya. Kepergian mama membawa persoalan baru bagi keluarga  yang ditinggal, terlebih seorang bocah  yang masih butuh perhatian dan kasayang dari seorang mama,  namun apa hendak dikata: "Rencana-Ku bukanlah rencanamu, Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, sepenggal kata dari buku kehidupan yang ditulis oleh orang-orang bijak.

Sejak saat itu tinggal Bapa Boli Pito, Bonsu dan keempat kakaknya hidup bertetangga, dengan kerabat keluarga di kampung Watuwawer. Kebiasaan hidup di kampung selalu saling tolong menolong, saling memberi sesuatu apa adanya sebagai suata ikatan kekerabatan yang khas di kampung itu.

Saat itu Bonsu belum mengerti tentang kematian itu sendiri. sampai-sampai dalam pembaringan mama, Bonsu menghampirinya dan berusaha mengambil bagian untuk menghilangkan dahaga, namun akhirnya kakakkulah yang menarik aku dan mengatakan bahwa mama kita sudah meninggal dan tidak boleh lakukan semuanya itu.

Sekali waktu Bonsu datang kerumah mama Sasi Pito hendak meminta  air minum, tidak berselang lama,  mama Sasi keluar dari dalam wetak ( pondok ) dan mendapati Bonsu. Kepada mama Sasi Ia menyampaikan niat dan maksud kedatangan hendak meminta air minum. Mama Sasi menjawab katanya, “air minum tidak ada, namun Kenem (sapaan bapa kecil)  sudah menyiapkan khusus buatmu” Jadi tunggu mama yang ambil. Ternyata yang diambil adalah tuak kelapa,  ini Bonsu punya sebab sepeninggalan mama Nole, ini tuak sebagai pengganti ASI . Lihat kamu sudah selamat jika tidak pasti kami semua juga tidak akan melihatmu lagi, kasihan sekali Bonsu mamamu itu pergi meninggalkanmu saat kamu masih kecil ( mere etik kenukak ) anak yatim, (tuak nebe bo gelureng dera tuhor) tuak sebagai pengganti ASI,  sejak mamamu meninggal dunia.

Sekembalinya Bonsu dari rumah mama Sasi dengan berbagai pergolakan hati yang tak menentu, Inai mateye ke.. (mama sudah mati) Bonus baru sadar dan teringat saat semua itu terjadi karena kepergian mama saat itu mendadak Bonsu jatuh sakit hingga enam bulan lamanya.

Terbayang dalam ingatanku hingga saat ini adalah sepenggal kata yang keluar dari bibir yang lesuh tak berdaya saat kupanggil  ina…ina…,(dalam bahasa ibu) yang berarti, mama…mama…. Namun apa yang terjadi ia hanya menatapku dalam dan dengan pandangan yang jauh, lama kemudian barulah keluar suara yang sayup dari dalam mulut mama katanya,  ” kakakmu pergi jauh jadi aku juga harus pergi”. Kata-kata inilah yang terbayang hingga saat ini dikala aku mengingat mama namun, semua ini sudah ditakdirkan dari Yang Maha Kuasa dan tidak dapat dibantah oleh siapapun dan dengan alasan apapun inilah rahasia iman.
Oh, ternyata tidak aku sadari,  jika kata-kata itu adalah  akhir dari sebuah percakapan bersama bundaku tercinta untuk yang terakhir kalinya dalam hidup ini.

Suatu hal lagi yang menarik dan lucu dikatakan oleh kakak-kakakku adalah bahwa,  dengan kepergian mamaku, Bonsu biasanya ditipkan pada ibu-ibu yang memiliki anak kecil yang masih menyusu agar dapat mengambil bagian untuk bias menghilangkan dahaga jika air tuak sudah habis. Bisa dibayangkan apa mungkin semua itu benar terjadi entalah sebab Bonsu sendiri tidak tahu, namun apa hendak dikata semua itu sudah terjadi. Bonsu juga sangat bersyukur atas pertolongan dan bantuan dari ibu-ibu yang berbaik hati namun yang terpenting bahwa Ia masih punya keinginan untuk hidup walau semua itu dari belas kasihan orang.

Kakak Kamilus memang akan pergi untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas di sebuah Lembaga swasta yakni Seminari San do Minggo Hokeng. Sekolah inilah yang nantinya  akan menghasilkan orang-orang yang akan menjadi pelayan Tuhan dalam tugas dan karya nantinya.
Dengan kepergian kakak kamilus  ke Hokeng tinggal kami berempat bersama Bapa serta kerabat keluarga  yang menyayangi kami.

Hingga suatu saat Bapa berangkat dari Watuwawer menuju ke Lewoleba dengan harapan dapat mencari perkerjaan guna menghidupi keluarga. Kami ditinggal pergi dan akhirnya kami ditipkan pada kakek dan nenek yang sudah lanjut usia. Bisa dibayakan betapa sulit  semuanya itu jika ditinggal pergi disaat kita membutuhkan kasih saya dari seorang ibu yang sudah tiada, dan ditinggal pergi oleh bapa untuk mencari pekerjaan ke tempat yang jauh.

Yang ada dalam benakku adalah menjalankan hidup ini apa adanya dan sejauh mana hidup ini akan berlalu. Dalam kerinduan  ketidak pastian hidup, namun berkat dukungan dan bantuan semua orang, sahabat dan kenalan memberikan harapan dan dorongan yang begitu besar untuk diriku. Bonsu tumbuh dalam situasi hidup keluarga yang sederhana dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan. 

Dalam perjuangan hidup ini aku mengalami berbagai kesulitan hidup namun semuanya itu harus kuterima dengan senyuman. Semua peristiwa hidup yang kualami disaat usiaku baru memasuki tahun yang kelima. Dalam perjalanan waktu Bonsu tumbuh dan  diasuh oleh Nenek, kekek, kakak serta sanak saudara sebagai suatu ikatan rumpun keluarga di desa itu.

Lama kami ditinggal pergi sekitar  dua tahun lamanya, akhrinya bapak pulang dengan membawa harapan baru bagi kami semua. Bapak akhirnya menikah lagi dengan adik dari mamaku dan aku sangat bahagia punya mama yang sangat menyayangiku. Kami semua akhirnya pergi meninggalkan Watuwawer menujuh ke Lewoleba sekitar Maret 1977. Dan akhirnya kami menetap di Lamahora yang menjadi awal baru kehidupanku  hingga saat ini.