Tahun 1975 mama pergi
menghadap Tuhan Yang Mahakuasa
padahal aku baru melihat dunia. Kehilangan akan ASI sumber air hidupku
membuat gairah hidupku tidak padam tetapi justru semakin bergairah untuk
mempertahankan hidup.
Tepatnya tanggal 09
Januari 1975 adalah hari yang terindah buat mama Kalara Nole Lejab untuk
meninggalkan suami, anak-anak serta kerabat keluarga untuk selamanya. Kepergian
mama membawa persoalan baru bagi keluarga yang ditinggal, terlebih seorang bocah yang masih butuh perhatian dan kasayang dari
seorang mama, namun apa hendak dikata: "Rencana-Ku
bukanlah rencanamu, Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, sepenggal kata dari buku
kehidupan yang ditulis oleh orang-orang bijak.
Sejak saat itu tinggal
Bapa Boli Pito, Bonsu dan keempat kakaknya hidup bertetangga, dengan kerabat
keluarga di kampung Watuwawer. Kebiasaan hidup di kampung selalu saling tolong
menolong, saling memberi sesuatu apa adanya sebagai suata ikatan kekerabatan yang
khas di kampung itu.
Saat itu Bonsu belum mengerti tentang kematian
itu sendiri. sampai-sampai dalam pembaringan mama, Bonsu menghampirinya dan
berusaha mengambil bagian untuk menghilangkan dahaga, namun akhirnya kakakkulah
yang menarik aku dan mengatakan bahwa mama kita sudah meninggal dan tidak boleh
lakukan semuanya itu.
Sekali waktu Bonsu datang
kerumah mama Sasi Pito hendak meminta
air minum, tidak berselang lama, mama Sasi keluar dari dalam wetak ( pondok )
dan mendapati Bonsu. Kepada mama Sasi Ia menyampaikan niat dan maksud kedatangan
hendak meminta air minum. Mama Sasi menjawab katanya, “air minum tidak ada,
namun Kenem (sapaan bapa kecil) sudah
menyiapkan khusus buatmu” Jadi tunggu mama yang ambil. Ternyata yang diambil
adalah tuak kelapa, ini Bonsu punya
sebab sepeninggalan mama Nole, ini tuak sebagai pengganti ASI . Lihat kamu
sudah selamat jika tidak pasti kami semua juga tidak akan melihatmu lagi,
kasihan sekali Bonsu mamamu itu pergi meninggalkanmu saat kamu masih kecil ( mere
etik kenukak ) anak yatim, (tuak nebe bo gelureng dera tuhor) tuak sebagai
pengganti ASI, sejak mamamu meninggal
dunia.
Sekembalinya Bonsu
dari rumah mama Sasi dengan berbagai pergolakan hati yang tak menentu, Inai mateye ke.. (mama sudah mati) Bonus
baru sadar dan teringat saat semua itu terjadi karena kepergian mama saat itu
mendadak Bonsu jatuh sakit hingga enam bulan lamanya.
Terbayang dalam
ingatanku hingga saat ini adalah sepenggal kata yang keluar dari bibir yang
lesuh tak berdaya saat kupanggil
ina…ina…,(dalam bahasa ibu) yang berarti, mama…mama…. Namun apa yang
terjadi ia hanya menatapku dalam dan dengan pandangan yang jauh, lama kemudian
barulah keluar suara yang sayup dari dalam mulut mama katanya, ” kakakmu
pergi jauh jadi aku juga harus pergi”. Kata-kata inilah yang terbayang
hingga saat ini dikala aku mengingat mama namun, semua ini sudah ditakdirkan dari
Yang Maha Kuasa dan tidak dapat dibantah oleh siapapun dan dengan alasan apapun
inilah rahasia iman.
Oh, ternyata tidak aku
sadari, jika kata-kata itu adalah
akhir dari sebuah percakapan bersama bundaku tercinta untuk yang terakhir
kalinya dalam hidup ini.
Suatu hal lagi yang
menarik dan lucu dikatakan oleh kakak-kakakku adalah bahwa, dengan kepergian mamaku, Bonsu biasanya ditipkan
pada ibu-ibu yang memiliki anak kecil yang masih menyusu agar dapat mengambil
bagian untuk bias menghilangkan dahaga jika air tuak sudah habis. Bisa
dibayangkan apa mungkin semua itu benar terjadi entalah sebab Bonsu sendiri
tidak tahu, namun apa hendak dikata semua itu sudah terjadi. Bonsu juga sangat bersyukur
atas pertolongan dan bantuan dari ibu-ibu yang berbaik hati namun yang
terpenting bahwa Ia masih punya keinginan untuk hidup walau semua itu dari
belas kasihan orang.
Kakak Kamilus memang
akan pergi untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas di sebuah Lembaga swasta
yakni Seminari San do Minggo Hokeng. Sekolah inilah yang nantinya akan menghasilkan orang-orang yang akan
menjadi pelayan Tuhan dalam tugas dan karya nantinya.
Dengan kepergian kakak
kamilus ke Hokeng tinggal kami berempat
bersama Bapa serta kerabat keluarga yang
menyayangi kami.
Hingga suatu saat Bapa
berangkat dari Watuwawer menuju ke Lewoleba dengan harapan dapat mencari
perkerjaan guna menghidupi keluarga. Kami ditinggal pergi dan akhirnya kami
ditipkan pada kakek dan nenek yang sudah lanjut usia. Bisa dibayakan betapa
sulit semuanya itu jika ditinggal pergi
disaat kita membutuhkan kasih saya dari seorang ibu yang sudah tiada, dan
ditinggal pergi oleh bapa untuk mencari pekerjaan ke tempat yang jauh.
Yang ada dalam benakku
adalah menjalankan hidup ini apa adanya dan sejauh mana hidup ini akan berlalu.
Dalam kerinduan ketidak pastian hidup, namun berkat dukungan dan bantuan
semua orang, sahabat dan kenalan memberikan harapan dan dorongan yang begitu
besar untuk diriku. Bonsu tumbuh dalam situasi hidup keluarga yang
sederhana dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan.
Dalam perjuangan hidup
ini aku mengalami berbagai kesulitan hidup namun semuanya itu harus kuterima
dengan senyuman. Semua peristiwa hidup yang kualami disaat usiaku baru memasuki
tahun yang kelima. Dalam perjalanan waktu
Bonsu tumbuh dan diasuh oleh Nenek, kekek, kakak serta sanak saudara
sebagai suatu ikatan rumpun keluarga di desa itu.
Lama kami ditinggal
pergi sekitar dua tahun lamanya,
akhrinya bapak pulang dengan membawa harapan baru bagi kami semua. Bapak
akhirnya menikah lagi dengan adik dari mamaku dan aku sangat bahagia punya mama
yang sangat menyayangiku. Kami semua akhirnya pergi meninggalkan Watuwawer menujuh
ke Lewoleba sekitar Maret 1977. Dan akhirnya kami menetap di Lamahora yang
menjadi awal baru kehidupanku hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar