Jumat, 31 Januari 2014

Sinopsis Petualangan Anak Kampung

Oleh: John Kia




Kampungku yang sejuk, indah dan nyaman  dengan terpaksa  kami tinggalkan. Ancaman bencana di lereng bukit Batanamang sejauh 5 hingga  9 Km membuat bapakku mengambil keptutusan ‘langka seribu’ untuk menyelamatkan keluarga. Aku yang dipanggil Bonsu menikmati saja apa yang dilakukan oleh bapak, mama, dan kakak-kakakku.

Kami ke   Barat, ke kampung Lamahora yang pada waktu itu masih dikelilingi padang rumput dan ilalang. Di tempat yang baru itu menjadi awal petualanganku sebagai Anak Kampung. Dunia ternyata tidak selebar daun kelor, tetapi juga bukan sesuatu yang terlalu luas untuk dijelajahi. Impian, cita-cita, keinginan, mencapai sesuatu yang lebih baik menjadikanku sebagai seorang petualangan yang tidak mudah pasrah menerima keadaan.  Tuhanlah yang membimbingku dalam setiap langkah perjuanganku.


Aku bangga menjadi ‘Anak Kota’ Lewoleba yang diterima sekolah di Sekolah Dasar Katolik II yang berjarak sekitar 4,5 Km dari tempat tinggalku di kampung Lamahora.  Darah ‘Anak Kampung’ tetap mengalir deras dalam urat nadiku, membawaku  menapak langkah demi langkah menyusuri padang ilalang sambil mengayungkan sepotong kayu merontokkan embun pagi agar celana seragamku tidak basah. Tiga tahun di SDK II terpaksa aku tinggalkan dan pindah di sekolah yang baru, Sekolah Dasar Inpres yang berjarak 3,5  Km. Lumayan, kelas tiga aku ulang dua tahun demi mengurangi jarak tempuh. 

Dari SD Inpres, sekolah aku lanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) yang sekomplek dengan SD Inpres. Di bawah pohon asam aku bersama kawan-kawan menuntut ilmu dan bersama pula kami bertualang manapaki bukit-bukit terjal mengejar babi hutan dan rusa yang menggangu tanaman di lading.


TimorTimur bukan lagi Timor Portugis yang pernah kudengar ketika masih tinggal di kampung Watuwawer. Bagian pulau Timor yang menjadi jajahan bangsa Portugis itu telah resmi bergabung ke dalam Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kakakku yang telah menjadi tentara dan ditugaskan di sana  menyurati bapakku supaya aku berangkat ke sana untuk melanjutkan pelajaran di SMA. 

Aku anak desa, aku anak kampung menyeberangi Laut Sawu semalam suntuk dengan kapal Fery dari Larantuka, ibukota Flores Timur. Petugas Pelabuhan pun tidak berhasil menahanku karena tidak mempunyai tiket. Pengalaman bertualang di hutan Lewoleba mengejar ayam hutan, rusa atau babi hutan, mendorongku melompat dari dermaga menggapai kapal Feri yang sudah melepaskan tali untuk berlayar. Kota karang – Kupang, kota dingin yang terkenal dengan apel dan harum cendana SoE, kota Kefamenanu dan kota Belu aku capai bersama bus Lepanbata.


Kota Dili ibu kota propinsi baru di pulau Timor yang bernama Timor Timur itu menyisahkan bekas-bekas peninggalan Portugis. Hidupku sebagai anak kampung nunjauh di Lembata sana yang ramah biar serba sederhana tidak bisa kubandingkan dengan kerasnya hidup di sebuah propinsi baru bekas penjajahan. 

Waktu di Lewoleba, buah labu parang di kebun kami sangat limpah sehingga biarpun harganya murah, tetapi sangat gampang aku punya uang. Sedangkan sebagai siswa SMA di kota Dili barang yang sangat istimewa yang namanya uang itu sangat sulit aku miliki.  Bagaimana mungkin menempuh jarak yang cukup jauh dengan berjalan kaki di tengah terik mahahari Timor dengan tidak memiliki uang?

Koran- Koran – Koran, Korannya Kompas, Kompasnya Koran,” menggelitik naluriku untuk berjualan. Agen Kompas di Kota Dilli dengan senang hati menerimaku. Saya menjadi tukang loper Koran dari rumah ke rumah mengedarkan Koran Kompas, Bali Post, Jawa Pos dan Koran Surya dengan total langgananku sampai 200 orang. Apa yang dapat menghalangiku bila aku punya uang? Ternyata hidup tidak sekejam seperti penilaian banyak orang. Usaha halal pasti berbuah kebaikan.  


http://gurudepag1.blogspot.co.id/
Lulusan SMA tetap menjadi tukang loper Koran? Tidak! Aku datang ke Dili bukan untuk itu harus ada terobosan yang lain. Tetapi apa? Nanik kawaku, sang inspirator yang menjadikanku sebagai tukang loper Koran, setamat SMA sudah menghilang entah ke mana. 

Di Timor Timur sudah lama menggeliat pembangunan pemukiman baru. Bapakku di kampung Watuwawer terkenal sebagai seorang tukang bangunan yang handal dan kurasakan darah pembangunan mengalir juga dalam nadiku. 

Aku mulai menjadi buruh bangunan yang mengangkut batu, bata, pasir, semen, air dan adukan melayani para tukang. Tampaknya pekerjaan mereka sangat mudah mengapa aku tidak menjadi tukang? Peralatan tukang kayu dan tukang batu kubeli dengan upahku sebagai buruh, dan jadilah aku seorang tukang sama dengan para tukang yang selama ini aku layani.  


http://gurudepag1.blogspot.co.id/
Sangat senang menjadi tukang yang dapat memerintah para pembantu untuk mengambil material yang aku butuhkan. Tetapi inikah pelajaran yang aku terima selama tiga tahun di SMA? Tidak, dan pasti Tuhan memiliki rencana dengan segala pekerjaan yang aku jalani.

Akhirnya datang juga kesempatan itu. Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kuterima dari seorang kawan ketika berada di proyek bangunan. Mungkin inilah muara dari segala petualanganku sejak meninggalkan kampung halaman, pindah bersekolah di kota Lewoleba, pindah ke Timor Timor untuk sekolah serta menjadi tukang loper Koran, dan menjadi tukang bangunan. Ternyata benar! Persyaratan aku lengkapi, test aku ikuti, dan aku dinyatakan berhasil. Syukur kepada-Mu Tuhan, Engkau membuatku menangis dan tertawa bahagia.***
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar