Kampungku
yang sejuk, indah dan nyaman dengan
terpaksa kami tinggalkan. Ancaman
bencana di lereng bukit Batanamang sejauh 5 hingga 9 Km membuat bapakku mengambil keptutusan ‘langka
seribu’ untuk menyelamatkan keluarga. Aku yang dipanggil Bonsu menikmati saja
apa yang dilakukan oleh bapak, mama, dan kakak-kakakku.
Kami ke Barat,
ke kampung Lamahora yang pada waktu itu masih dikelilingi padang rumput dan
ilalang. Di tempat yang baru itu menjadi awal petualanganku sebagai Anak
Kampung. Dunia ternyata tidak selebar daun kelor, tetapi juga bukan sesuatu
yang terlalu luas untuk dijelajahi. Impian, cita-cita, keinginan, mencapai
sesuatu yang lebih baik menjadikanku sebagai seorang petualangan yang tidak
mudah pasrah menerima keadaan. Tuhanlah
yang membimbingku dalam setiap langkah perjuanganku.
Aku
bangga menjadi ‘Anak Kota’ Lewoleba yang diterima sekolah di Sekolah Dasar
Katolik II yang berjarak sekitar 4,5 Km dari tempat tinggalku di kampung Lamahora.
Darah ‘Anak Kampung’ tetap mengalir
deras dalam urat nadiku, membawaku menapak langkah demi langkah menyusuri padang
ilalang sambil mengayungkan sepotong kayu merontokkan embun pagi agar celana
seragamku tidak basah. Tiga tahun di SDK II terpaksa aku tinggalkan dan pindah
di sekolah yang baru, Sekolah Dasar Inpres yang berjarak 3,5 Km. Lumayan, kelas tiga aku ulang dua tahun
demi mengurangi jarak tempuh.
Dari SD
Inpres, sekolah aku lanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) yang
sekomplek dengan SD Inpres. Di bawah pohon asam aku bersama kawan-kawan
menuntut ilmu dan bersama pula kami bertualang manapaki bukit-bukit terjal
mengejar babi hutan dan rusa yang menggangu tanaman di lading.
TimorTimur bukan lagi Timor Portugis yang pernah kudengar ketika masih tinggal di kampung
Watuwawer. Bagian pulau Timor yang menjadi jajahan bangsa Portugis itu telah
resmi bergabung ke dalam Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kakakku
yang telah menjadi tentara dan ditugaskan di sana menyurati bapakku supaya aku berangkat ke sana
untuk melanjutkan pelajaran di SMA.
Aku anak desa, aku anak kampung
menyeberangi Laut Sawu semalam suntuk dengan kapal Fery dari Larantuka, ibukota
Flores Timur. Petugas Pelabuhan pun tidak berhasil menahanku karena tidak
mempunyai tiket. Pengalaman bertualang di hutan Lewoleba mengejar ayam hutan,
rusa atau babi hutan, mendorongku melompat dari dermaga menggapai kapal Feri
yang sudah melepaskan tali untuk berlayar. Kota
karang – Kupang, kota dingin yang terkenal dengan apel dan harum cendana SoE,
kota Kefamenanu dan kota Belu aku capai bersama bus Lepanbata.
Kota
Dili ibu kota propinsi baru di pulau Timor yang bernama Timor Timur itu
menyisahkan bekas-bekas peninggalan Portugis. Hidupku sebagai anak kampung
nunjauh di Lembata sana yang ramah biar serba sederhana tidak bisa kubandingkan
dengan kerasnya hidup di sebuah propinsi baru bekas penjajahan.
Waktu
di Lewoleba, buah labu parang di kebun kami sangat limpah sehingga biarpun
harganya murah, tetapi sangat gampang aku punya uang. Sedangkan sebagai siswa
SMA di kota Dili barang yang sangat istimewa yang namanya uang itu sangat sulit
aku miliki. Bagaimana mungkin menempuh
jarak yang cukup jauh dengan berjalan kaki di tengah terik mahahari Timor
dengan tidak memiliki uang?
“Koran-
Koran – Koran, Korannya Kompas, Kompasnya Koran,” menggelitik naluriku untuk
berjualan. Agen Kompas di Kota Dilli dengan senang hati menerimaku. Saya
menjadi tukang loper Koran dari rumah ke rumah mengedarkan Koran Kompas, Bali
Post, Jawa Pos dan Koran Surya dengan total langgananku sampai 200 orang. Apa
yang dapat menghalangiku bila aku punya uang? Ternyata hidup tidak sekejam seperti
penilaian banyak orang. Usaha halal pasti berbuah kebaikan.
Lulusan
SMA tetap menjadi tukang loper Koran? Tidak! Aku datang ke Dili bukan untuk itu
harus ada terobosan yang lain. Tetapi apa? Nanik kawaku, sang inspirator yang menjadikanku
sebagai tukang loper Koran, setamat SMA sudah menghilang entah ke mana.
Di Timor
Timur sudah lama menggeliat pembangunan pemukiman baru. Bapakku di kampung Watuwawer
terkenal sebagai seorang tukang bangunan yang handal dan kurasakan darah
pembangunan mengalir juga dalam nadiku.
Aku
mulai menjadi buruh bangunan yang mengangkut batu, bata, pasir, semen, air dan
adukan melayani para tukang. Tampaknya pekerjaan mereka sangat mudah mengapa
aku tidak menjadi tukang? Peralatan tukang kayu dan tukang batu kubeli dengan
upahku sebagai buruh, dan jadilah aku seorang tukang sama dengan para tukang
yang selama ini aku layani.
Sangat
senang menjadi tukang yang dapat memerintah para pembantu untuk mengambil
material yang aku butuhkan. Tetapi inikah pelajaran yang aku terima selama tiga
tahun di SMA? Tidak, dan pasti Tuhan memiliki rencana dengan segala pekerjaan
yang aku jalani.
Akhirnya
datang juga kesempatan itu. Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
kuterima dari seorang kawan ketika berada di proyek bangunan. Mungkin inilah
muara dari segala petualanganku sejak meninggalkan kampung halaman, pindah
bersekolah di kota Lewoleba, pindah ke Timor Timor untuk sekolah serta menjadi
tukang loper Koran, dan menjadi tukang bangunan. Ternyata benar! Persyaratan
aku lengkapi, test aku ikuti, dan aku dinyatakan berhasil. Syukur kepada-Mu
Tuhan, Engkau membuatku menangis dan tertawa bahagia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar