Oleh: John Kia
![]() |
KM. Lewoleba Karya |
Dengan tetesan air mata aku berpamitan dan memohon doa restu dari Bapa, mama serta kakak. Semoga tujuan perjalananku ini suatu saat nanti kami boleh dapat berkumpul kembali dengan penuh harapan. Dan dengan penuh haru kakakku Rofina menghantarku ke dermaga Lewoleba dengan memegang sebuah tas kecil yang berisikan bekal, sebagai persiapan dalam perjalanan menuju tempat tujuan yang belum pernah akuketahui. Bapa hanya tersenyum gembira dan dari dalam saku ia mengambil uang sebanyak Rp. 35.000, dengan ucapan: "Hanya dengan uang ini yang bisa Bapa berikan, mudah-mudahan cukup untuk sampai disana". Aku merasa bersyukur karena dengan uang itu aku bisa gunakan sebagai bekal hingga tiba di kota tujuan.
Tepatnya tanggal 07 Juli 1987 dengan
menggunakan KM Lewoleba Karya, bersama
teman dan juga kerabat sekampung dengan tujuan masing-masing kami berlayar ke
Kota Reinha - Larantuka sebagai pusat kota Kabupaten Flores Timur saat itu. "No
cepat masuk kedalam kita mau berangkat", kata seorang anak buah kapal yang belum kukenal. Semua tali untuk menambatkan kapal motor dilepas, bunyi mesin semakin lama semakin keras, dan
kapal motor pun semakin jauh meninggalkan dermaga. Dari kejauhan hanya terlihat
lambaian tangan dari orang-orang yang aku cintai.
Di atas bangku panjang aku hanya
melamun membayangkan semua orang yang kutinggalkan. Aku dikejutkan saat petugas kapal dengan
secarik kertas hendak meminta bayaran tiket. Aku mengambil dari balik saku dan
membayar sesuai tagihan yang diminta oleh petugas kapal motor yakni sebesar Rp.
500. Lambat laun aku mulai berbaur
dengan kerabat yang hendak pulang ke Kabupaten Belu di Atambua - Timor setelah
berlibur di kampung. Sambil bercerita
aku pun mulai merasa mual, maklum aku sendiri belum pernah berlayar apalagi
keluar dari kampung halaman sehingga tidak dapat menahan terjangan gelombang
dan arus Watowoko yang begitu kuat sehingga membuatku mabuk
dan tertidur lelap hingga tiba di kota Reinha Larantuka sekitar jam 12.00
wita.
Perjalanan dari Lewoleba ke Larantuka
ditempuh dalam waktu kurang lebih empat setengah jam. Setiba
di Larantuka kapal Fery tujuan
Kupang sudah bersandar di Pelabuhan Larantuka sehingga kami semua langsung
memindahkan semua bawaan ke dalam kapal fery dengan tujuan Kupang. Pada saat masuk dalam kapal kami hendak
membeli tiket, namun para petugas kapal
mengatakan bahwa kami dibolehkan
naik kapal dengan tidak membeli tiket karena kami masih anak-anak.
Aku pun merasa senang karena uang dari pemberian Bapa bisa aku simpan untuk keperluan yang lain. Namun sayang, para petugas Keamanan dengan sikap yang arogan memeriksa semua barang bawaan kami dengan memeriksakan tiket keberangkatan bagi setiap penumpang, dan bagi para penumpang yang tidak memiliki tiket diperintahkan untuk turun dari kapal Fery. Dengan perasan bersalah saya pun turun dari Kapal namun barang bawaan kutitipkan pada kerabat. Saya bingung oleh karena Larantuka aku barusan tiba dan tidak tahu harus bagaimana. Petugas keamanan dengan sigap menjaga kapal sehingga aku hanya menunggu diatas pelabuhan dengan satu tekat saat tali dilepas aku akan melompat kedalam kapal. Akhirnya rencanaku berhasil juga, semua ini berkat dukungan kerabat dan teman dimana peristiwa tidak akan kulupakan sebagai suatu awal baru dalam mengambil sikap dan tindakan.
Aku pun merasa senang karena uang dari pemberian Bapa bisa aku simpan untuk keperluan yang lain. Namun sayang, para petugas Keamanan dengan sikap yang arogan memeriksa semua barang bawaan kami dengan memeriksakan tiket keberangkatan bagi setiap penumpang, dan bagi para penumpang yang tidak memiliki tiket diperintahkan untuk turun dari kapal Fery. Dengan perasan bersalah saya pun turun dari Kapal namun barang bawaan kutitipkan pada kerabat. Saya bingung oleh karena Larantuka aku barusan tiba dan tidak tahu harus bagaimana. Petugas keamanan dengan sigap menjaga kapal sehingga aku hanya menunggu diatas pelabuhan dengan satu tekat saat tali dilepas aku akan melompat kedalam kapal. Akhirnya rencanaku berhasil juga, semua ini berkat dukungan kerabat dan teman dimana peristiwa tidak akan kulupakan sebagai suatu awal baru dalam mengambil sikap dan tindakan.
Tepat jam 15.00 wita, kapal siap diberangkatkan dengan tujuan
Kupang dan keesokan harinya kami tiba di kota Karang Kupang. Dengan penuh semangat, dalam
benak kota tujuanku mungkin sudah dekat.
Setibanya di Kupang kami menginap semalam di rumah kerabat dan keesokan harinya
kami lanjutkan perjalanan ke perbatasan
NTT dan Timor-Timur tepatnya di kota Atambua
Kabupaten Belu.
Pagi-pagi kami siap berangkat keterminal ditemani
kerabat dengan mengendarai mobil angkot
mikrolet . Setibanya di Terminal kami terus dijemput oleh para kondektur bus tujuan Atambua dan kami langsung berangkat
karena kapasitas muatan sudah mencukupi. Suasana dalam perjalanan sangat
mengasikkan oleh karena suasananya yang baru
dan juga keinginan untuk mengenal tempat-tempat yang pernah dipelajari di
sekolah.
Dalam perjalan ke Atambua begitu
melelahkan karena jarak yang harus di tempu kurang lebih 475 km, namun dengan
iringan musik membuat semua penumpang lain tertidur lelap. Dengan rasa ingin
tahu aku melihat situasi dalam perjalanan dan menikmati alunan Album music Neti
Sitompul yakni Cincin Permata Biru hingga tiba di kota Soe untuk makan siang. Selanjutnya kami
melanjutkan perjalanan dan akirnya tiba di kota Atambua jam 16.00 sore.
Selama di Atambua aku tinggal dengan
kerabat oleh karena untuk memasuki wilayah Timor-Timur harus punya identitas
yang lengkap, sedangkan aku hanya berbekalkan sebuah surat dari Ketua
Lingkungan yang sangat diragukan keabsahan karena situasi dan kondisi saat itu.
Kami memberitakan keberadaan dan permasalahanku, namun tidak pernah ada jawaban dari sana
sehingga aku hampir putus asa dan ingin kembali ke kampung halaman. Selama tiga
minggu dalam penantian yang tidak pasti,
akhirnya tiba juga hari yang menggembirakan
buatku.
Aku akhirnya berangkat bersama kakakku yang sudah lama tidak pernah bertemu karena tugas mengabdikan diri pada Negara sebagai seorang Tentara. Kami pun tiba di kota Dili tanggal 02 Agustus 1987 sebagai kota tujuan terakhir untuk bertualang. Keesokan harinya aku langsung ke sekolah mengikuti OSPEK di SMAN I Dili, untuk menimba ilmu pengetahuan.***
Aku akhirnya berangkat bersama kakakku yang sudah lama tidak pernah bertemu karena tugas mengabdikan diri pada Negara sebagai seorang Tentara. Kami pun tiba di kota Dili tanggal 02 Agustus 1987 sebagai kota tujuan terakhir untuk bertualang. Keesokan harinya aku langsung ke sekolah mengikuti OSPEK di SMAN I Dili, untuk menimba ilmu pengetahuan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar