Jumat, 07 Maret 2014

Bertualang ke Timor Timur


Oleh: John Kia

KM. Lewoleba Karya
Dengan berbekal sepucuk surat dari  Kepala Lingkungan Lamahora Barat yang ditanda tangani oleh Bapak Yakobus Wita sebagai bukti identitas diri, akhirnya aku harus tinggalkan  keluarga dan teman-teman yang kucintai untuk menimbah ilmu pengetahuan di tanah orang sebagai tujuan utama dalam hidupku. 

Dengan tetesan air mata aku berpamitan dan memohon doa restu dari Bapa, mama serta kakak. Semoga tujuan perjalananku ini  suatu saat nanti kami boleh dapat berkumpul kembali dengan penuh harapan. Dan dengan penuh haru kakakku Rofina menghantarku ke dermaga Lewoleba dengan memegang sebuah tas kecil yang berisikan bekal,  sebagai persiapan dalam perjalanan menuju tempat tujuan yang belum pernah akuketahui. Bapa hanya tersenyum gembira dan dari dalam saku ia mengambil uang sebanyak Rp. 35.000, dengan ucapan: "Hanya dengan uang ini yang bisa Bapa berikan, mudah-mudahan cukup untuk sampai disana". Aku merasa bersyukur karena  dengan uang itu aku bisa   gunakan sebagai bekal hingga tiba di kota tujuan.

Tepatnya tanggal 07 Juli 1987 dengan menggunakan KM Lewoleba Karya bersama teman dan juga kerabat sekampung dengan tujuan masing-masing kami berlayar ke Kota Reinha - Larantuka sebagai pusat kota Kabupaten Flores Timur saat itu. "No cepat masuk kedalam kita mau berangkat", kata seorang anak buah kapal yang belum kukenal. Semua tali untuk menambatkan kapal motor dilepas, bunyi mesin semakin lama semakin keras, dan kapal motor pun semakin jauh meninggalkan dermaga. Dari kejauhan hanya terlihat lambaian tangan dari orang-orang yang aku cintai.

Di atas bangku panjang aku hanya melamun membayangkan semua orang yang kutinggalkan. Aku  dikejutkan saat petugas kapal dengan secarik kertas hendak meminta bayaran tiket. Aku mengambil dari balik saku dan membayar sesuai tagihan yang diminta oleh petugas kapal motor yakni sebesar Rp. 500.   Lambat laun aku mulai berbaur dengan kerabat yang hendak pulang ke Kabupaten Belu di Atambua - Timor setelah berlibur di kampung.  Sambil bercerita aku pun mulai merasa mual, maklum aku sendiri belum pernah berlayar apalagi keluar dari kampung halaman sehingga tidak dapat menahan terjangan gelombang dan arus Watowoko yang begitu kuat sehingga membuatku  mabuk  dan tertidur lelap hingga tiba di kota Reinha Larantuka sekitar jam 12.00 wita.

Perjalanan dari Lewoleba ke Larantuka ditempuh dalam waktu kurang lebih empat setengah jam. Setiba  di Larantuka  kapal Fery tujuan Kupang sudah bersandar di Pelabuhan Larantuka sehingga kami semua langsung memindahkan semua bawaan  ke dalam kapal fery dengan tujuan Kupang. Pada saat masuk dalam kapal kami hendak membeli tiket, namun para petugas  kapal mengatakan bahwa kami dibolehkan naik kapal dengan tidak membeli tiket karena kami masih anak-anak. 

Aku pun merasa senang karena uang dari pemberian Bapa bisa aku simpan untuk keperluan yang lain. Namun sayang,  para petugas Keamanan dengan sikap yang arogan memeriksa semua barang bawaan kami dengan memeriksakan tiket keberangkatan bagi setiap penumpang, dan bagi para penumpang yang tidak memiliki tiket diperintahkan untuk turun dari kapal Fery. Dengan perasan bersalah saya pun turun dari Kapal namun barang bawaan kutitipkan pada kerabat. Saya bingung oleh karena Larantuka aku barusan tiba dan tidak tahu harus bagaimana. Petugas keamanan dengan sigap menjaga kapal sehingga aku hanya menunggu diatas pelabuhan dengan satu tekat saat tali dilepas aku akan melompat kedalam kapal. Akhirnya rencanaku berhasil juga, semua ini berkat dukungan kerabat dan teman dimana peristiwa tidak akan kulupakan sebagai suatu awal baru dalam mengambil sikap dan tindakan.

Tepat jam 15.00 wita,  kapal siap diberangkatkan dengan tujuan Kupang dan keesokan harinya kami tiba di kota Karang Kupang. Dengan penuh semangat, dalam benak kota tujuanku  mungkin sudah dekat. Setibanya di Kupang kami menginap semalam di rumah kerabat dan keesokan harinya kami lanjutkan perjalanan  ke perbatasan NTT dan Timor-Timur  tepatnya di kota Atambua Kabupaten Belu.
Pagi-pagi  kami siap berangkat keterminal ditemani kerabat dengan mengendarai  mobil angkot mikrolet . Setibanya di Terminal kami terus dijemput oleh para kondektur  bus tujuan Atambua dan kami langsung berangkat karena kapasitas muatan sudah mencukupi. Suasana dalam perjalanan sangat mengasikkan oleh karena suasananya yang baru  dan juga keinginan untuk mengenal tempat-tempat yang  pernah dipelajari di sekolah.
Dalam perjalan ke Atambua begitu melelahkan karena jarak yang harus di tempu kurang lebih 475 km, namun dengan iringan musik membuat semua penumpang lain tertidur lelap. Dengan rasa ingin tahu aku melihat situasi dalam perjalanan dan menikmati alunan Album music Neti Sitompul yakni Cincin Permata Biru hingga tiba di kota Soe  untuk makan siang. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dan akirnya tiba di kota Atambua jam 16.00 sore.

Selama di Atambua aku tinggal dengan kerabat oleh karena untuk memasuki wilayah Timor-Timur harus punya identitas yang lengkap, sedangkan aku hanya berbekalkan sebuah surat dari Ketua Lingkungan yang sangat diragukan keabsahan karena situasi dan kondisi saat itu. Kami memberitakan keberadaan dan permasalahanku, namun tidak pernah ada jawaban dari sana sehingga aku hampir putus asa dan ingin kembali ke kampung halaman. Selama tiga minggu  dalam penantian yang tidak pasti, akhirnya tiba juga hari yang menggembirakan  buatku.

Aku akhirnya berangkat bersama kakakku yang sudah lama  tidak pernah bertemu karena tugas mengabdikan diri pada Negara sebagai seorang Tentara. Kami pun tiba di kota Dili tanggal 02 Agustus 1987 sebagai kota tujuan terakhir untuk bertualang. Keesokan harinya aku langsung ke sekolah mengikuti OSPEK  di SMAN I Dili, untuk menimba ilmu pengetahuan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar